Kisah Sukses Anak Singkong

0 komentar

Di satu sudut Kampung Bugisan, Yogyakarta. Di situlah bermula cerita singkong ala Firmansyah Budi Prasetyo melanglang penjuru Nusantara. Bermodal outlet tak terpakai milik sang ibu, Fadjri Budi Rahayu, serta peralatan dapur seadanya, anak muda itu menjajal peruntungan dengan menjual kudapan singkong di garasi rumahnya. “Itu November 2006,” kata lelaki kelahiran Semarang, 5 Desember 1981 ini, mengenang.

Kenapa singkong? Firman yang ditemui di sela kegiatan Wirausaha Muda Mandiri di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, pertengahan Agustus lalu, menjawab lugas. “Dari Sabang sampai Merauke, singkong bisa didapat. Tanaman ini tak kenal musim, dan mudah diolah menjadi berbagai jenis makanan,” ujar Executive Vice President Business, JCI Indonesia dan Ketua Kompartemen Industri, Perdagangan Dalam dan Luar Negeri, DPD HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Yogyakarta ini.

Kata “malu” sebagai penjual makanan dari singkong sudah dibuang jauh dari kamus hidupnya. Luluan cum laude Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini, setelah mencoba menjadi pegawai di beberap tempat, akhirnya memutuskan untuk menjadi bos bagi dirinya sendiri. Tentu saja itu tak serta merta mewujud. Meski tak melalui perenungan yang terlalu rumit, outlet milik ibunya tadi yang mencetuskannya menjadi penjual cemilan dari singkong. Homy Tela alias rumah singkong, begitu nama mereknya semula ia pampang.

Firman mengisahkan, ia mulai dari satu kilogram singkong. “Lha, kok payu (laris-Jawa)?” katanya, yang disusul dengan beberapa kilo hingga puluhan kilo singkong di waktu berikutnya. Lelaki yang pernah ikut Indonesia-Canada Youth Exchange Programme, Canada World Youth, Vancouver, ini terus memutar otaknya, agar bisnis singkong yang digelutinya bisa berkembang lebih cepat. “Saya terus mempelajari pola atau sistem seperti apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan usaha rumahan ini. Dengan sistem konvensional atau membuka cabang, itu tidak mungkin karena pasti terkendala permodalan,” katanya.

Dan, Firman merasa sistem investor yang menjadi mitra bisnis yang dirasakannya cocok. Ia pun merancang dua pilihan investasi. Mitra Standard, yaitu investasi Rp3,5-Rp 4 juta dengan fasilitas initial fee, perlengkapan dan bahan awal untuk menjalankan usaha, dan Mitra Eksklusif, dengan investasi Rp 5-6 juta berikut fasilitas initial fee, perlengkapan dan bahan awal, garansi uang kembali jika setahun tidak break event point, hak “Mitra Get Mitra” untuk menjual outlet serta bonus tahapan. Ada pula sistem keagenan, yang merupakan perwakilan Tela Krezz–merek yang kemudian dipakainya— di suatu wilayah yang memiliki syarat, hak dan kewajiban tertentu dengan nilai investasi Rp 12-15 juta dengan fasilitas lisensi keagenan, set up keagenan secara manajerial dan operasional, training keagenan, support system sampai bonus budget outlet. Berbagai pameran pun diikutinya.

Laptop mampir di pegadaian menjadi cerita biasa bagi Firman. Perlahan, bisnisnya mulai menunjukkan kemajuan. Dari iklan kecil di surat kabar hingga informasi dari mulut ke mulut, akhirnya sampai sekarang telah ada 1.200 outlet di 120 wilayah (agen) di berbagai kota di Indonesia. Tela Krezz pun menjadi populer dengan menu-menu andalannya seperti Tela Lapizz (singkong berbalut vanila, cokelat, lemon, strawberry), Tela Bola dengan 20 varian rasa, Tela Bolo-Bolo, Tela Jana, dan Tela Krezz rasa pedas, ayam, keju, garlic, jagung manis, ayam lada hitam, pizza, hingga rasa aneka buah-buahan. “Semua rasa itu sudah melalui uji coba. Survey kecil-kecilan. Bahkan diperoleh data di beberapa daerah masyarakatnya menyukai singkong yang tak terlalu kres atau renyah dan garing, seperti di Manado dan Bali yang lebih senang singkong agak kenyal,” kata Firman, yang kini memiliki karyawan tetap sekitar 20 orang. Itung-itung, dengan omzet di 1.200 outlet itu, maka per bulan bisa terkumpul tak kurang dari Rp 2 miliar. Bukan main!
Sumber : Wirausahamandiri.co.id

Sukses Batagor Bandung ala Jepang

0 komentar

Awalnya, Ridwan Abadi tidak sepenuhnya menjejakkan kaki di dunia wirausaha. Dia hanya menjadikan bisnis kuliner sebagai ‘pekerjaan sampingan’. Kala itu, peraih gelar sarjana dari Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya pada 2007 ini masih menjadi karyawan sebuah perusahaan pengembang. Pria kelahiran 8 Agustus 1985 ini mulai mencoba menggeluti bisnis kuliner sejak tahun 2006 dengan memproduksi dan menjual burger. Ketertarikan ini dilatarbelakangi hobinya berwisata kuliner. “Ya, saya memilih berbisnis kuliner karena hobi makan. Jadi, saya tahu di mana mencari makanan enak, walau belum tentu tahu cara membuatnya,” ungkapnya. 

Seiring perjalanan waktu, Ridwan makin yakin pada prospek bisnis kuliner yang digelutinya. Dia pun berhenti bekerja dan memutuskan untuk sepenuhnya menjadi wirausahawan pada 2008. Menurutnya, untuk membesarkan usaha yang dirintis membutuhkan tenaga dan pemikiran yang penuh. “Saya pikir untuk menjadi pengusaha sukses tidak boleh setengah hati. Harus terjun sepenuhnya,” cetusnya. Dengan bermodalkan uang gaji yang disisihkan saat bekerja, Ridwan mendirikan resto Batagor Jepang di Jalan Mayjend Panjaitan, Malang. Kuliner ini memiliki kekhasan dengan memadukan unsur batagor Bandung dengan sajian Jepang, misalnya saja saus teriyaki. Pertama mengenalkan Batagor Jepang, ternyata jenis kuliner ini digemari masyarakat. Tak ayal pebisnis kuliner lainnya ikut menyontek. Namun, hal ini tidak merisaukan Ridwan karena, menurutnya , persaingan bisnis memungkinkan hal tersebut. 

“Kuncinya ada pada inovasi produk. Kami terus memberikan varian baru, seperti baso yang terbuat dari bahan dasar seafood yang notabene menjadi andalan masakan khas Jepang,” jelasnya. Akses dan jaringan Ridwan dalam mengembangkan usaha makin luas setelah ia mengikuti program Wirausaha Muda Mandiri (WMM) dari Bank Mandiri pada tahun 2010 lalu , dan berhasil menjadi pemenang. “Dengan mengikuti program WMM, saya bisa menambah wawasan dan jaringan, termasuk akses permodalan. Selain itu, berbagai pelatihan yang diberikan sangat berguna bagi pengembangan bisnis saya, salah satunya pengelolaan sumber daya manusia,” terangnya. 

Ridwan membesarkan Batagor Jepang-nya melalui sistem waralaba dengan merek Takashi Mura, sejak tahun lalu. Harga untuk mitra waralaba dipatok mulai dari Rp 35 juta hingga Rp 95 juta, tergantung paket yang dipilih. Hingga saat ini mitra waralaba yang bekerjasama sudah mencapai 50, tersebar di berbagai daerah di pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Sementara itu promosi juga gencar dilakukan Ridwan, termasuk melalui jejaring media sosial, seperti facebook dan twitter. Bagi pria asal Lampung ini, modal berbentuk uang bukanlah segalanya untuk memulai bisnis, namun kemauan yang keras merupakan modal utama yang sulit didapatkan. 

“Menemukan kegagalan dalam merintis bisnis sangat mungkin terjadi. Jika tidak gigih dan ulet tentu saja akan kandas di tengah jalan. Selain itu, harus pintar berinovasi dan jeli melihat pasar,” jelasnya. Dengan omset usaha mencapai Rp 100 juta per bulan, Ridwan tak berpuas diri. Dia ingin terus mengembangkan diri. Salah satunya dengan menargetkan bisa memasarkan Batagor Takashi Mura dalam bentuk beku di pasar ritel. Untuk itu, dia berencana membangun pabrik. “Mudah-mudahan tahun depan bisa terlaksana,” ujarnya.
Sumber : wirausahamandiri.co.id

Modal Ratusan Ribu, Kini Tembus Pasar Dunia

0 komentar

Kiprah Iwa Sumanto,30 tahun, dalam merintis bisnis patut diapresiasi. Pemuda kelahiran 21 Januari 1981 ini adalah Finalis Nasional Wirausaha Muda Mandiri yang telah sukses mengembangkan usaha produksi stick drum yang kini telah menembus pasar dunia.

Keberhasilan Iwa Sumanto diraih melalui proses panjang. Sebelum menggeluti usaha yang kini diberi nama Solobeat Drumstick Production, sejak kecil memang telah bersinggungan dengan kerajinan kayu. Selain desa tempatnya tinggal dikenal sebagai sentra usaha kerajinan kayu, orang tuanya juga menggeluti bidang itu sebagai mata pencaharian. “Kerajinan kayu yang dibuat orang tua saya antara lain sofa dan kabinet alumunium,” kata Iwa Sumanto kepada SINDO, belum lama ini.

Namun usaha orang tuanya terguncang saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. Sehingga ketika lulus SMA, Iwa tidak bisa langsung kuliah karena keterbatasan biaya. Keterpurukan yang sempat dialami orang tua ternyata memicu kreativitasnya. Pada 2005, anak keempat dari lima bersaudara ini mulai merintis usaha stick drum. Usaha yang berkaitan dengan perlengkapan alat musik jenis pukul itu terinspirasi karena dirinya sempat berkecimpung di event organizer. Hanya bermodal Rp200 ribu, usaha stick drum itu pun dimulai. “Pada awalnya hanya menggunakan alat manual. Itu pun saya juga masih belajar bagaimana membuat stick drum,” bebernya. 

Kayu yang digunakan pada mulanya sisa kerajinan orang tuanya yang tidak terpakai dan sebagian lagi membeli. Selama beberapa bulan, sekitar 200 pasang stick drum berhasil dijual ke Semarang, Yogyakarta dan Solo. Stick buatannya ditawarkan ke studio musik dan toko-toko alat musik. “Studio musik menjadi salah satu pasar. Lantaran perlengkapan musik mereka biasanya disewakan, tentu stick drumnya akan cepat mengalami kerusakan,” kenangnya. Harga yang dipatok adalah Rp10 ribu untuk sepasang stick drum.

Ternyata semakin lama permintaan semakin banyak hingga membuat usahanya semakin berkembang. Pesanan pun semakin meluas dari sejumlah kota besar di Indonesia. Iwa lantas merekrut dua pemuda dari kampungnya untuk menjadi karyawan. Kualitas produk yang dihasilkan ternyata sampai ke telinga sejumlah drummer papan atas di Indonesia. Beberapa grup band ternama tertarik mencoba. Lantaran cocok, mereka kini rata-rata setiap bulan memesan 30 pasang stick drum buatan Solobeat Drumstick Production. “Mereka sering manggung, namun tidak mau sembarangan memakai stick drum. Jadi mereka membawa sendiri,” katanya. Tak mau kehilangan pelanggan spesial yang telah memiliki nama besar, pesanan tersebut tentu dibuat agak khusus dengan harga Rp20 ribu untuk sepasang stick drum.

Selain pasar dalam negeri, Iwa membidik pasar internasional. Promosi melalui internet membuahkan hasil. Tahun 2011 lalu, sejumlah grup band asal Amerika Serikat, Venezuela, Puerto Rico dan Kanada mulai memesan stick drum buatannya. Bahkan di Venezuela, Iwa sudah memiliki jaringan yang siap memasarkan produk usahanya. Harga yang dibanderol adalah USD13 untuk sepasang stick drum, termasuk ongkos kirim. “Mereka biasanya pesan satu lusin dan dibayar di muka,” ungkapnya. Pesanan khusus ini membuat pasar usahanya semakin luas. Berkat ketekunannya, Iwa kini sedikit banyak mulai menikmati hasil usahanya. 

Setiap bulan, omzet rata-rata saat ini telah mencapai Rp20 juta. Karyawannya juga bertambah menjadi lima orang. Kualitas produksi tetap dikontrol langsung agar tidak mengecewakan konsumen. 

Berkat usahanya,  pada 2008 Iwa bisa melanjutkan studinya ke Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Jurusan yang diambil adalah bahasa Inggris dengan alasan untuk menopang pengembangan usaha. Dia berharap bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya demi pengembangan bisnis ke depan. 

Kemampuan bisnis Iwa semakin terasah setelah dirinya menjadi Finalis Nasional Wirausaha Muda Mandiri 2010 dan bersaing dengan banyak peserta dari berbagai daerah. Beberapa finalis merupakan sosok wirausaha muda yang selama ini menjadi teladan baginya. “Saya merasa belum apa apa dibanding dengan mereka. Masih kalah jauh,” tandasnya. 

Pengalaman yang diperoleh dari ajang itu adalah mendapatkan pelatihan bisnis. Ilmu yang diperoleh akan segera diterapkan agar usahanya ke depan lebih tertata dan maju. Di samping itu, produk usahanya juga diikutkan dalam pameran di beberapa daerah, sehingga semakin dikenal luas masyarakat dan order menjadi bertambah banyak. “Sebelumnya saya melihat wirausaha muda sulit mendapatkan kesempatan untuk maju. Namun Bank Mandiri ternyata memberikan ruang bagi kami untuk mengembangkan diri. Pada tanggal 19-22 Januari 2012 nanti pun, saya bersama ratusan binaan Bank Mandiri lainnya diikutsertakan dalam Expo Wirausaha Muda Mandiri yang akan digelar di Assembly Hall Jakarta Convention Center,” katanya.

Dia berharap agar para pemuda memiliki optimisme yang tinggi dalam mengembangkan kewirausahaan. Tak kalah penting adalah semangat tidak pernah menyerah dan terus berusaha sekuat tenaga. “Jangan putus asa meski ada yang meremehkan,” ujarnya. 


Sumber : wirausahamandiri.co.id